Selasa, 20 Agustus 2013

TULISAN JOROK

Setiap pagi ibu, atau saya, harus membuang kotoran sapi dari kandangnya. Setiap 2-3 hari sekali Ibu juga menyapu lantai rumah kami yang warisan Belanda (dari dulu masih asli tanah). Dua minggu sekali saya juga harus membersihkan rumah-rumah anak buah Spiderman yang bergelantungan di atap rumah kami. Kotoran, sampah atau sarang laba-laba itu harus secara rutin dibersihkan karena jika tidak akan semakin menumpuk dan menimbulkan ketidaknyamanan.

Segala sesuatu memang harus selalu kita bersihkan secara rutin agar terhindar dari segala macam kotoran. Kita pun perlu mandi setiap hari untuk membersihkan tubuh kita dari kotoran, keringat atau debu yang menempel di tubuh kita. Kita juga harus membersihkan kotoran dalam tubuh kita dengan rutin keluar masuk WC. Jika tidak dibersihkan, akan menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan penyakit.

Begitulah. Kita juga harus senantiasa membersihkan diri kita dari segala macam ‘kotoran’. Setiap saat, sadar atau tidak, diri kita selalu ternodai dengan perbuatan-perbuatan dosa.

Karenanya kita harus senantiasa membersihan diri dengan beristighfar memohon ampunan Allah swt. Bertobat dengan sebenar-benarnya dan berusaha untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa. Jika dibiarkan, lama-lama akan menumpuk dan menimbulkan ketidaknyamanan. Bahkan penyakit.

Allah SWT berfirman (yang artinya) :
“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-A’raf : 153)

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang senantiasa mendapat ampunan-Nya. Amin.

Akhukum fillah,

mashari

Senin, 12 Agustus 2013

Belajar dari Atas Pundak

Tulisan saya kali ini sedikit menyinggung kisah hidup saya (tapi ini bukan curhat ya...). ^_^

Lahir dari keluarga petani membuat saya sangat akrab dengan dunia pertanian. Saya paham dengan sangat detail bagaimana pekerjaan seorang petani mulai dari macul dengan segala variansnya (dangir, ceket, gebyah, klaci, mopok, tamping dll), menggarap lahan, menanam sampai memanen. Saya menyaksikan pekerjaan petani dari kecil, bahkan saya terlibat aktif di dalamnya.

Bagi saya bertani adalah pekerjaan berat. Salah satu yang saya anggap paling berat – dan paling saya benci – adalah pekerjaan mikul. Anda tahu, mengangkat beban entah itu padi, jagung bahkan rumput untuk makanan ternak dengan menggunakan pikulan. Itu beratnya minta ampun.

Kurang lebih seperti ini rasanya: bayangkan saja Anda memikul padi yang sudah dipanen. Katakanlah beratnya 50 kg (bobot ini biasanya minimal, bisa lebih) dan harus Anda pikul di atas pundak Anda. Berat ini hampir seimbang dengan berat tubuh Anda karena para petani yang kurus kering itu berat tubuhnya juga tidak jauh-jauh dari 50 kiloan sangat jauh berbeda dengan nyonya besar yang kelebihan lemak.

Ditambah lagi dengan sensasi panas akibat gesekan kulit pundak yang hitam mengkilap dengan pikulan. Panas matahari yang membara semakin menambah penderitaan. Dan jika Anda beruntung, Anda akan melewati jalanan berlumpur sedalam lutut. Gimana gitu rasanya..... Sementara beban yang kita pikul tak menunjukkan rasa belas kasihan sedikitpun. Dia hanya diam saja dan terus minta diangkat.

Tulang terasa remuk, napas tersengal-sengal, keringat bercucuran, hati hancur (lho...apa hubungannya?). Berat.

Maka timbul satu pertanyaan: kenapa mereka tetap memikul beban itu sampai rumah? Kenapa tidak ditinggalkan saja dan berjalan tanpa beban.

Jawabannya jelas, karena jika ditinggalkan maka mereka akan pulang dengan tangan kosong. Tanpa hasil. Itulah alasan mengapa mengapa mereka tidak menyerah meski harus memikul beban yang sangat berat.

Berjalan tanpa memikul beban berarti pulang tanpa membawa hasil. Begitupun dengan hidup kita di dunia ini. Siapa saja yang hidup tidak mau menanggung beban maka hidupnya tidak memiliki arti sama sekali.

Jika ada orang yang hanya memikirkan hidupnya sendiri, yang penting sukses, mapan, keluarga bahagia dan sejahtera dan tidak tergerak untuk ikut berjuang menegakkan agama Allah, maka kehadirannya di dunia ini tidak berguna sama sekali di sisi Allah.

So, kalau hidup kita ini tidak kita gunakan untuk berdakwah memperjuangkan agama Allah, dan memikul beban yang berat di dalamnya, lalu apa yang kita hasilkan di dunia ini? Untuk apa kita hidup? Materi, Allah tidak membutuhkan itu. Maka kita akan ‘pulang’ dengan tangan kosong jika kita meninggalkan beban dakwah ini.

Dari atas pundak kita belajar tentang arti kehidupan. Bahwa hidup ini harus kita gunakan untuk memikul beban yang Allah berikan kepada kita, untuk berjuang menegakkan syariat-Nya dan meninggikan kalimat tauhid di atas muka bumi.

Semoga setiap peluh keringat kita akan diganti oleh Allah dengan kenikmatan Jannah-Nya.

Wassalam...
Akhukum fillah,

mashari

Selasa, 06 Agustus 2013

Kembali Fitri (tapi) Kembali Ternodai

1.Badrul memang keterlaluan. Dia tidak mencuci pakaiannya selama sebelas bulan.

2.Tapi karena terbiasa, Badrul tetap merasa nyaman dengan pakaian itu, betapa pun pakaian itu kumal dan bau.

3.Orang-orang menyebutnya jorok, teman kambing, manusia gua. Dia tak peduli. Katanya enjoy jadi diri sendiri

4.Tapi bulan ini ada yang berbeda. Tiba-tiba saja dia mencuci pakaiannya. Ketika ditanya, dia menjawab, “Ini adalah bulan istimewa.”

5.Sebulan ini dia mencuci pakaiannya. 30 hari berturut-turut tanpa jeda. Kini pakaian itu benar-benar bersih. Tak sedikitpun kotoran menempel. Pakaian itu benar-benar seperti baru, harum pula baunya.

6.Tapi, sebulan telah berlalu dan berganti bulan baru. Badrul mengambil pakaiannya yang bersih lalu memasukkannya ke dalam selokan...

7.What happen???

8.Apa yang ada di pikiran Anda? Konyol? Absurd? Gila? Bagaimana mungkin orang yang sudah susah payah selama sebulan penuh membersihkan pakaiannya, lalu dalam hitungan beberapa menit saja sudah membuat pekerjaannya sia-sia?

9.Masalahnya, bagaimana jika secara sadar atau tidak, hal itu terjadi pada kita?

10.Bayangkan saja, sebelas bulan kita menjalani aktivitas. Secara sadar atau tidak kita melakukan banyak kemaksiatan yang semakin lama semakin menggunung, hingga tak terhitung lagi besarnya.

11.Lalu selama sebulan penuh kita bersihkan dosa-dosa itu dengan shaum Ramadhan. Dan puncaknya ketika Idul Fitri, Allah SWT membersihkan dosa-dosa kita sebagaimana bayi keluar dari kandungan.

12.Tapi dengan entengnya, kita kembali mengotori jiwa dengan dosa-dosa.

13.Saat Ramadhan berakhir, kita pun kembali banyak bermaksiat. Kita banyak meninggalkan sholat, sering mengumbar aurat dan menuruti nafsu syahwat, Al-Qur’an ditutup rapat-rapat, sedekah jadi urusan keseratus empat (jauuh amat.....?)

14.Saudaraku, kita harus pandai-pandai menjaga keimanan dan ketakwaan. Supaya Ramadhan yang kita lewati tak sekedar tinggal kenangan, tapi menjadi sebuah momentum perubahan.

15.Hendaknya kita selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, yang wajib maupun yang sunnah, dan menjauhi perkara syubhat, apalagi yang jelas-jelas diharamkan Allah.

16.Kalau kita mengira bisa senantiasa membentengi diri (dari berbuat dosa) seorang diri, itu sangat konyol. Ibarat kita mengira sehelai benang sanggup digunakan untuk menarik kapal. Maka penting untuk selalu bergaul dengan orang-orang sholeh, serta berjuang bersama mereka untuk menegakkan agama Allah.

17.Selama Ramadhan Allah SWT memerintahkan kita berpuasa agar kita menjadi orang yang bertakwa. Sedangkan takwa diartikan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segal larangan-Nya. Sementara saat ini, banyak hukum Allah yang dicampakkan. Kita malah menerapkan hukum-hukum yang berasal dari selain Islam untuk mengatur kehidupan. Akibatnya kita tak bisa meraih takwa dengan sempurna.

18.Maka seharusnya kita menjadikan memontum Ramadhan – dan tentu selepas Ramadhan nanti – untuk terus berjuang menegakkan hukum Allah di muka bumi. Saatnya kita berjuang untuk menerapkan Syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1434 H
Minal a’idin wal fa’izin
Mohon Maaf Lahir & Batin




Wassalam,
mashari