Senin, 12 Agustus 2013

Belajar dari Atas Pundak

Tulisan saya kali ini sedikit menyinggung kisah hidup saya (tapi ini bukan curhat ya...). ^_^

Lahir dari keluarga petani membuat saya sangat akrab dengan dunia pertanian. Saya paham dengan sangat detail bagaimana pekerjaan seorang petani mulai dari macul dengan segala variansnya (dangir, ceket, gebyah, klaci, mopok, tamping dll), menggarap lahan, menanam sampai memanen. Saya menyaksikan pekerjaan petani dari kecil, bahkan saya terlibat aktif di dalamnya.

Bagi saya bertani adalah pekerjaan berat. Salah satu yang saya anggap paling berat – dan paling saya benci – adalah pekerjaan mikul. Anda tahu, mengangkat beban entah itu padi, jagung bahkan rumput untuk makanan ternak dengan menggunakan pikulan. Itu beratnya minta ampun.

Kurang lebih seperti ini rasanya: bayangkan saja Anda memikul padi yang sudah dipanen. Katakanlah beratnya 50 kg (bobot ini biasanya minimal, bisa lebih) dan harus Anda pikul di atas pundak Anda. Berat ini hampir seimbang dengan berat tubuh Anda karena para petani yang kurus kering itu berat tubuhnya juga tidak jauh-jauh dari 50 kiloan sangat jauh berbeda dengan nyonya besar yang kelebihan lemak.

Ditambah lagi dengan sensasi panas akibat gesekan kulit pundak yang hitam mengkilap dengan pikulan. Panas matahari yang membara semakin menambah penderitaan. Dan jika Anda beruntung, Anda akan melewati jalanan berlumpur sedalam lutut. Gimana gitu rasanya..... Sementara beban yang kita pikul tak menunjukkan rasa belas kasihan sedikitpun. Dia hanya diam saja dan terus minta diangkat.

Tulang terasa remuk, napas tersengal-sengal, keringat bercucuran, hati hancur (lho...apa hubungannya?). Berat.

Maka timbul satu pertanyaan: kenapa mereka tetap memikul beban itu sampai rumah? Kenapa tidak ditinggalkan saja dan berjalan tanpa beban.

Jawabannya jelas, karena jika ditinggalkan maka mereka akan pulang dengan tangan kosong. Tanpa hasil. Itulah alasan mengapa mengapa mereka tidak menyerah meski harus memikul beban yang sangat berat.

Berjalan tanpa memikul beban berarti pulang tanpa membawa hasil. Begitupun dengan hidup kita di dunia ini. Siapa saja yang hidup tidak mau menanggung beban maka hidupnya tidak memiliki arti sama sekali.

Jika ada orang yang hanya memikirkan hidupnya sendiri, yang penting sukses, mapan, keluarga bahagia dan sejahtera dan tidak tergerak untuk ikut berjuang menegakkan agama Allah, maka kehadirannya di dunia ini tidak berguna sama sekali di sisi Allah.

So, kalau hidup kita ini tidak kita gunakan untuk berdakwah memperjuangkan agama Allah, dan memikul beban yang berat di dalamnya, lalu apa yang kita hasilkan di dunia ini? Untuk apa kita hidup? Materi, Allah tidak membutuhkan itu. Maka kita akan ‘pulang’ dengan tangan kosong jika kita meninggalkan beban dakwah ini.

Dari atas pundak kita belajar tentang arti kehidupan. Bahwa hidup ini harus kita gunakan untuk memikul beban yang Allah berikan kepada kita, untuk berjuang menegakkan syariat-Nya dan meninggikan kalimat tauhid di atas muka bumi.

Semoga setiap peluh keringat kita akan diganti oleh Allah dengan kenikmatan Jannah-Nya.

Wassalam...
Akhukum fillah,

mashari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar